Aku beri judul seperti ini karena memang karena bukan dilakukan pada saat liburan, melainkan karena kita meluangkan waktu di semester ini yang tidak ada libur semesternya, di tengah jadwal PKL yang harus dipenuhi setiap mahasiswa. Bagi kami selalu ada waktu bagi untuk berlibur, asalkan dananya cukup.
***
Jumat, 14 Januari 2011
Jumat pagi kami sudah siap-siap berangkat. Dari subuh, Payung alias Agus sudah membangunkan anak-anak kontrakan agar segera menyiapkan segala keperluan untuk berlibur. Semalam aku sudah membawa mobil ke kontrakan, untuk liburan kali ini. Sebenarnya ide untuk jalan-jalan ke Ujung Genteng ini sedikit mendadak. Hari Senin, aku, Wawan, dan Firdan merencanakan untuk berlibur. Entah siapa yang memulai, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Ujung Genteng. Kebetulan kendaraan yang paling memungkinkan adalah mobil keluargaku. Maka, ketika aku pulang, aku segera menanyakan kepada orang tuaku apakah mobil keluarga boleh dipinjam atau tidak. Tak disangka, ternyata boleh! Segara aku sms Wawan untuk memberitahukan hal ini.
Semua barang-barang bawaan telah masuk mobil. Baju, celana, obat-obatan, bantal, sampai golok sudah masuk. Parafin yang dipersiapkan untuk bahan bakar memasak juga sudah dibawa. Sekitar jam enam waktu Depok kami pun berangkat. Total ada tujuh orang, termasuk aku yang ikut dalam rombongan ini. Tadinya kami berdelapan, tetapi ketika aku dan Wawan baru tiba di kontrakan, Richard terlihat kurang semangat. Benar saja, tak lama setelah ia pulang ia mengirim pesan ke Wawan bahwa ia tidak jadi ikut. Kami sempat kecewa, tapi biarlah. Jadilah kami berangkat bertujuh: aku, Wawan, Firdan, Payung, Ngkong alias Handri, Vicky, dan Dian.
Baru berjalan setengah jam Ngkong sudah mengeluarkan kamera SLR pinjamannya. Memotret talenta anak sekolah di jalan raya Bogor. Wah, harus lebih focus mengemudi nih, bisa-bisa nanti malah nabrak. Perjalanan Depok-Tajur cukup lancar, perjalanan kami baru tersendat ketika memasuki jalan kea rah Sukabumi. Disana kami berhenti di SPBU untuk mengisi bahan bakar dan istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan kembali sampai kami berhenti di Cibadak untuk sarapan.
Dengan bermodalkan peta mudik milik Dian kami pun melanjutkan perjalanan. Kami sempat salah jalan dan terpaksa harus memutar setelah bertanya kepada seorang Bapak di warung pinggir jalan. Sebenarnya rute yang kami pilih bukan melewati Pelabuhan Ratu, karena jalannya memutar cukup jauh. Tapi sialnya rute yang kami lewati justru rute itu. Jalannya kecil, berliku-liku, dan rusak. Disisinya jurang yang cukup mengerikan. Ditambah dengan papan di pinggir jalan yang bertuliskan “hati-hati, rawan longsor!” membuat suasana semakin horror.
Pukul 11.30 kami menepi, mencari masjid untuk shalat Jumat. Masjidnya kecil, berada di tengah pemukiman setelah beberapa saat yang kami lalui hanya hutan. Tempat wudhunya berupa bak penampungan yang diberi kran yang sumber airnya terus mengalir. Terlihat kotor. Setelah Firdan buang air kecil, aku menitipkan sarungku kepadanya untuk buang air kecil. Di dalam aku melihat puntung rokok yang mengambang di air berwarna kuning di dalam wc. "Ooh, cuma air kuning kental." pikirku dalam hati. "Apa!? Kuning?? Waaaa!" aku menahan napas dan buru-buru buang air kecil.
Selesai mengambil wudhu aku masuk masjid dan melakukan shalat takhiyatul masjid. Tak lama berselang adzan pun dikumandangkan. Di sini adzan Jumat dilakukan dua kali. Baru sekitar lima menit khatib membaca dengan bahasa Arab tiba-tiba ia duduk. Duduk di antara dua khutbah. Aku melihat Payung, sepertinya ia juga kaget. Lalu sang khatib membaca lagi, tiba-tiba dari belakang anak-anak kecil berteriak “AAAMMIIIEEEN!!!”. Aku tersentak mendengarnya. Kaget.
Perjalanan dilanjutkan. Pukul 12.15 WIB. Jalan masih tetap berliku dan rusak. Pemandangan sebenarnya cukup indah, tapi karena di sisinya jurang aku tidak bias menikmatinya. Entah sudah berapa kali album Sesuatu yang Tertunda dari Padi sudah berputar, persediaan dua sisir pisang yang dipaksa ibuku untuk dibawa juga tinggal sedikit, tetapi belum sampai juga. Anak-anak sudah ngobrol ngalor-ngidul dari tadi. Vicky mengaku kalau di rumah ia di panggil ganteng tiga, Payung dikatai mirip walrush, dan Firdan membuat istilah baru, perduaan. “Nanti kalau ada perduaan belok kanan.” katanya. Perduaan? Kami semua ngakak. Mingkin hanya orang Karawang yang mengerti.
Jam tanganku menunjukkan pukul dua ketika kami melewati Jampangkulon. Kami makan siang di daerah Surade. Namanya juga anak kostan, dimana pun berada makannya di warteg. Di dalamnya bau obat nyamuk bakar, yang belakangan, ketika makananku tinggal sedikit, ternyata obat nyamuk tersebut diletakkan di atas meja. Waduuh!? Sekitar satu jam kami meneruskan perjalanan akhirnya salmpailah kami di pintu masuk Ujung Genteng. Kami membayar Rp 16.000,00, Rp 4.000,00 untuk mobil, dan Rp 2.000,00 per orangnya. Tapi kami hanya dihitung enam orang, sepertinya satu orang temanku tidak terlihat petugas penjaga. Pintu gerbang sudah dilewati, di sebelah kiri, menerobos kebun kelapa terlihat laut. Kami kembali bersemangat. Terdengar Bob Marley bernyanyi di kepalaku, Three Little Bird.
Semua barang-barang bawaan telah masuk mobil. Baju, celana, obat-obatan, bantal, sampai golok sudah masuk. Parafin yang dipersiapkan untuk bahan bakar memasak juga sudah dibawa. Sekitar jam enam waktu Depok kami pun berangkat. Total ada tujuh orang, termasuk aku yang ikut dalam rombongan ini. Tadinya kami berdelapan, tetapi ketika aku dan Wawan baru tiba di kontrakan, Richard terlihat kurang semangat. Benar saja, tak lama setelah ia pulang ia mengirim pesan ke Wawan bahwa ia tidak jadi ikut. Kami sempat kecewa, tapi biarlah. Jadilah kami berangkat bertujuh: aku, Wawan, Firdan, Payung, Ngkong alias Handri, Vicky, dan Dian.
Baru berjalan setengah jam Ngkong sudah mengeluarkan kamera SLR pinjamannya. Memotret talenta anak sekolah di jalan raya Bogor. Wah, harus lebih focus mengemudi nih, bisa-bisa nanti malah nabrak. Perjalanan Depok-Tajur cukup lancar, perjalanan kami baru tersendat ketika memasuki jalan kea rah Sukabumi. Disana kami berhenti di SPBU untuk mengisi bahan bakar dan istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan kembali sampai kami berhenti di Cibadak untuk sarapan.
Dengan bermodalkan peta mudik milik Dian kami pun melanjutkan perjalanan. Kami sempat salah jalan dan terpaksa harus memutar setelah bertanya kepada seorang Bapak di warung pinggir jalan. Sebenarnya rute yang kami pilih bukan melewati Pelabuhan Ratu, karena jalannya memutar cukup jauh. Tapi sialnya rute yang kami lewati justru rute itu. Jalannya kecil, berliku-liku, dan rusak. Disisinya jurang yang cukup mengerikan. Ditambah dengan papan di pinggir jalan yang bertuliskan “hati-hati, rawan longsor!” membuat suasana semakin horror.
Pukul 11.30 kami menepi, mencari masjid untuk shalat Jumat. Masjidnya kecil, berada di tengah pemukiman setelah beberapa saat yang kami lalui hanya hutan. Tempat wudhunya berupa bak penampungan yang diberi kran yang sumber airnya terus mengalir. Terlihat kotor. Setelah Firdan buang air kecil, aku menitipkan sarungku kepadanya untuk buang air kecil. Di dalam aku melihat puntung rokok yang mengambang di air berwarna kuning di dalam wc. "Ooh, cuma air kuning kental." pikirku dalam hati. "Apa!? Kuning?? Waaaa!" aku menahan napas dan buru-buru buang air kecil.
Selesai mengambil wudhu aku masuk masjid dan melakukan shalat takhiyatul masjid. Tak lama berselang adzan pun dikumandangkan. Di sini adzan Jumat dilakukan dua kali. Baru sekitar lima menit khatib membaca dengan bahasa Arab tiba-tiba ia duduk. Duduk di antara dua khutbah. Aku melihat Payung, sepertinya ia juga kaget. Lalu sang khatib membaca lagi, tiba-tiba dari belakang anak-anak kecil berteriak “AAAMMIIIEEEN!!!”. Aku tersentak mendengarnya. Kaget.
Perjalanan dilanjutkan. Pukul 12.15 WIB. Jalan masih tetap berliku dan rusak. Pemandangan sebenarnya cukup indah, tapi karena di sisinya jurang aku tidak bias menikmatinya. Entah sudah berapa kali album Sesuatu yang Tertunda dari Padi sudah berputar, persediaan dua sisir pisang yang dipaksa ibuku untuk dibawa juga tinggal sedikit, tetapi belum sampai juga. Anak-anak sudah ngobrol ngalor-ngidul dari tadi. Vicky mengaku kalau di rumah ia di panggil ganteng tiga, Payung dikatai mirip walrush, dan Firdan membuat istilah baru, perduaan. “Nanti kalau ada perduaan belok kanan.” katanya. Perduaan? Kami semua ngakak. Mingkin hanya orang Karawang yang mengerti.
Jam tanganku menunjukkan pukul dua ketika kami melewati Jampangkulon. Kami makan siang di daerah Surade. Namanya juga anak kostan, dimana pun berada makannya di warteg. Di dalamnya bau obat nyamuk bakar, yang belakangan, ketika makananku tinggal sedikit, ternyata obat nyamuk tersebut diletakkan di atas meja. Waduuh!? Sekitar satu jam kami meneruskan perjalanan akhirnya salmpailah kami di pintu masuk Ujung Genteng. Kami membayar Rp 16.000,00, Rp 4.000,00 untuk mobil, dan Rp 2.000,00 per orangnya. Tapi kami hanya dihitung enam orang, sepertinya satu orang temanku tidak terlihat petugas penjaga. Pintu gerbang sudah dilewati, di sebelah kiri, menerobos kebun kelapa terlihat laut. Kami kembali bersemangat. Terdengar Bob Marley bernyanyi di kepalaku, Three Little Bird.
“don’t worry ‘bout a thing…cause everylittle thing gonna be alright…”
Ternyata dari pintu gerbang itu pantainya masih cukup jauh. Hampir setengah jam. Jalannya pun jelek. Kami terus mengikuti jalan raya Ujung Genteng sampai akhirnya kami menemukan pertigaan di ujung pantai. Kami memilih arah ke kiri, jalan yang beraspal. Tapi setelah diikuti ternyata itu adalah jalan buntu yang berhenti pada tempat pelelangan ikan. Ujung aspal, begitu kami menyebutnya. Kami memutar, memilih jalan yang belum di aspal. Jalannya berupa conblock yang sudah banyak lubangnya. Itu pun hanya beberapa meter. Sisanya hanyalah jalan pasir yang banyak kubangannya.
Ketika sampai di pantai Cibuaya kami mencari penginapan di sana, yang murah meriah tentunya. Kami mendapatkan penginapan seharga 125 ribu permalamnya, dengan dua kamar. Tujuan sore ini adalah ke pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu yang jauhnya kurang-lebih 3 km menyusuri pantai Cibuaya ini. Sambil menyusuri pantai kami berfoto-merekam video, mengabadikan momen-momen indah.
Pantai Pangumbahan memiliki pasir pantai yang halus dan putih, tidak seperti pantai Cibuaya yang pantainya berupa koral-koral kecil. Pantainya yang landai membuatku ingin merasakan berenang-renang sebentar. Dan teman-teman pun setuju untuk berenang. Kami pun tertawa lepas ketika tiduran sejajar dengan pantai lalu terhempas oleh ombak-ombak kecil yang sudah terlebih dahulu dipecah oleh karang besar di depan. Bukan hanya berenang, kami juga memberikan training kepada Engkong dengan menguburnya di dalam pasir--training untuk di kuburan maksudnya.
Kata Firdan tadi ada segerombolan orang yang sedang berkumpul di pantai, agak jauh dari kami ke arah timur, arah penangkaran penyu. Kami melanjutkan perjalanan kesana. Sayang, ternyata yang dilakukan oleh sekelompok tadi ialah melepaskan penyu. Kami terlambat beberapa menit. Tetapi setidaknya di sana kami bisa melihat tukuk--anak penyu-- yang baru menetas sekitar setengah jam yang lalu.
Malam hari, setelah makan malam dengan ikan laut aku langsung menuju kamar untuk tidur, karena pipiku sedang bengkan, sakit gigi karena makan martabak tanpa sikat gigi setelahnya. Tidurku tidak terlalu nyenyak, tengah malam aku terbangun untuk sikat gigi.
Pantai Pangumbahan memiliki pasir pantai yang halus dan putih, tidak seperti pantai Cibuaya yang pantainya berupa koral-koral kecil. Pantainya yang landai membuatku ingin merasakan berenang-renang sebentar. Dan teman-teman pun setuju untuk berenang. Kami pun tertawa lepas ketika tiduran sejajar dengan pantai lalu terhempas oleh ombak-ombak kecil yang sudah terlebih dahulu dipecah oleh karang besar di depan. Bukan hanya berenang, kami juga memberikan training kepada Engkong dengan menguburnya di dalam pasir--training untuk di kuburan maksudnya.
Kata Firdan tadi ada segerombolan orang yang sedang berkumpul di pantai, agak jauh dari kami ke arah timur, arah penangkaran penyu. Kami melanjutkan perjalanan kesana. Sayang, ternyata yang dilakukan oleh sekelompok tadi ialah melepaskan penyu. Kami terlambat beberapa menit. Tetapi setidaknya di sana kami bisa melihat tukuk--anak penyu-- yang baru menetas sekitar setengah jam yang lalu.
Malam hari, setelah makan malam dengan ikan laut aku langsung menuju kamar untuk tidur, karena pipiku sedang bengkan, sakit gigi karena makan martabak tanpa sikat gigi setelahnya. Tidurku tidak terlalu nyenyak, tengah malam aku terbangun untuk sikat gigi.