Tampilkan postingan dengan label lain-lain. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lain-lain. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2011

Menentukan Arah


Satu lagi check point dalam perjalanan hidup gue udah terlewati. Masa-masa kuliah di PNJ, walaupun saat gue nulis di post ini masih belum diwisuda, tapi gue udah lulus sidang. Sekarang waktunya untuk berjalan ke tujuan selanjutnya, yaitu kerja, nerusin kuliah, nikah, masih banyak lagi deh yang pengen gue lewati.

Oke, tapi disini yang gue bahas rencana yang paling deket dulu, kerja. Kalau dilihat dari program study yang gue ambil, teknik sipil, ada beberapa bagian yang bisa gue pilih di dunia kerja, pilihannya antara lain surveyor, quantity surveyor/estimator, quality control, drafter, dan marketing. Mungkin masih ada pilihan-pilihan lain, tapi yang gue tau cuma itu.

Dari sekian pilihan itu ada satu yang menarik buat gue, drafter. Kelihatannya sih gampang, cuma gambar-gambar aja, tapi sebenernya cukup ribet. Sebenernya jadi estimator juga gue bisa, tapi drafter adalah panggilan hati gue. Hmm, gimana jelasinnya ya..
Nah, seperti kata-kata koyuki di atas, Koyuki ingin melakukan sesuatu yang benar-benar ia suka, nggak ngeliat orang lain, ia hanya berjalan di bagiannya sendiri. Atau Flea Red Hot Chili Peppers yang bilang bahwa ia bermain bass dengan tidak ingin menjadi seperti siapa pun, ia hanya ingin jadi diri sendiri. 


Ya, sampai saat ini hati gue masih memanggil untuk jadi drafter, dan mimpi gue buat ngebangun sebuah stadion pun masih ada. Semoga sampai..

Minggu, 27 Februari 2011

Berlibur: Ujung Genteng-Bandung -- 3rd day

Minggu, 16 Januari 2011

Pukul enam pagi aku terbangun. Semuanya masih tidur. Semalam ibuku menelepon, dan aku sudah memberinya kabar bahwa aku menginap di Bandung. Air terasa sangat dingin membasuh tubuhku. Shalat subuh. Tak lama yang lain juga terbangun, mandi pagi dan mengikuti jadwal yang telah ditentukan.

Kami berangkat mengitari kota Bandung. Tujuan pertama adalah pasar Gedebage. Tempatnya tidak jauh dari tempat kami menginap. Kurang dari setengah jam kami sudah sampai di sana. Kata Firdan pasar yang dahulu sudah diganti dengan bangunan yang baru. Struktur bangunan dan rangka atapnya dari baja. Cukup luas. Barang-barang yang diperjual-belikan beragam. Mulai dari tas, pakaian, sepatu, jaket kulit, sampai jas juga ada. Setelah memilih-milih akhirnya aku membeli sweater seharga 25 ribu. Sebenarnya masih bisa kurang, tapi karena aku tidak tega, jadi aku hanya berani menawar sebesar itu. Lalu karena aku yang pertama membeli, jadi harga sweaterku dijadikan patokan oleh penjualnya.

Puas berbelanja kami pun segera berangkat kembali. Jalan Braga, tujuan kami selanjutnya. Minggu pagi jalanan kota Bandung ramai dengan orang-orang yang berolahraga, baik lari pagi di lapangan Gasibu maupun bersepeda. Sesi foto-foto pemandangan tak ketinggalan. Sayang, lagi-lagi aku harus fokus mengemudi. Setelah berputar-putar akhirnya kami sampai di jalan Braga. Tapi tempat yang aku cari, yang sering disorot di tv tidak terlihat. Akhirnya kami memutuskan untuk memarkir di dekat jalan Asia-Afrika.

Gedung-gedung di sekitar jalan Asia-Afrika adalah gedung tua dan bersejarah. Bangunan-bangunannya ditopang dengan kolom-kolom beton yang tampak kokoh. Pintu dan jendela bergaya Belanda, sebenarnya memang secara keseluruhan bergaya Belanda, tapi hanya dengan melihat pintu dan jendelanya pun kita sudah bisa menebaknya, seperti bentuk jendela di SMA 1 Bogor. Di sekitar gedung Asia-Afrika berdiri tiang-tiang bendera, yang digunakan pada saat konferensi Asia-Afrika atau mungkin acara-acara kenegaraan lain.

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11 siang, kami kembali ke mobil untuk pulang ke base-camp kami, kontrakan. Perjalanan menuju Depok sekitar dua jam. Kami berhenti di tempat peristirahatan untuk mengisi bahan bakar dan sholat dzuhur. Engkong dan Wawan membeli peuyeum untuk oleh-oleh orang di rumah. Perjalanan lancar, semua orang tertidur, kecuali aku dan Firdan yang duduk di depan. Jalan tol yang lurus membuatku sedikit mengantuk. Di sekitar Bekasi aku ditanya Payung, membuatku sedikit tersentak, membuatku tidak mengantuk lagi.

Kami salah jalan ketila di pintu tol Cikunir 2. Seharusnya kami ke arah lingkar luar, tetapi semua sedang tertidur kecuali Firdan. Akhirnya kami keluar di Pondok Gede dan masuk tol kembalo ke arah Depok. Badan kami pegal-pegal semua. Setelah beberapa jam istirahat kami pulang ke rumah masing-masing setelah sebelumnya mencuci mobil di cuci steam.

***
Selama tiga hari kami jalan-jalan uang yang dihabiskan sekitar 200-250 ribu, mencakup semuanya, mulai dari premium, penginapan, makan, jajan, belanja, dll. Perjalanan tiga hari ini sangat berkesan bagiku, lebih berkesan dari Studek yang diadakan kampus. Semoga nanti kita masih ada kesempatan untuk jalan-jalan kembali, ke tempat-tempat yang indah. amin. 

Sabtu, 26 Februari 2011

Berlibur: Ujung Genteng-Bandung -- 2nd day

Sabtu, 15 Januari 2011


Pagi yang cerah di pesisir pantai setelah hujan cukup lebat subuh tadi. Setelah terbangun aku mendapati Firdan dan Engkong yang sudah berada di luar, duduk di dekat ayunan. Tak lama semua temanku pun terbangun. Hari ini tujuan selanjutnya adalah curug Cikaso. Kami menyempatkan jalan-jalan ke garis pantai yang semakin menjauh karena air surut. Puas berfoto barang-barang bawaan segera kami kemas kembali, menatanya di dalam mobil.

Ketika sedang sibuk membereskan barang, tiba-tiba Wawan teriak, ia kaget karena ia melihat Payung sedang nongkrong di wc. Ia bermaksud ingin mengambil peralatam mandinya di kamar mandi.
 "Gimana Wan, ngeliat Payung lagi boker?" tanya salah seorang temanku.
"Kagak ngeliat  gw, ketutupan bak.."
"Tapi lu ngeliat ekspresinya kan?"
"Kagaaak!!!" sergah Wawan yang tidak mau mengingatnya.

Perjalanan kami diiringi hujan yang cukup lebat. Beberapa kali kami bertanya kepada penduduk sekitar arah curug Cikaso. Setelah sempat memutar karena salah jalan, akhirnya kami sampai juga di curug. Disana kami segera disambut oleh tour guide. Kata tour guide tersebut, untuk ke curug kita harus menaiki perahu yang harganya 80 ribu per perahu. Karena sudah sampai sini, mau tidak mau kami akhirnya menumpang perahu tersebut. Engkong juga sudang bertanya kepada temannya mengenai perahu ini, dan memang harus naik perahu untuk ke sana.

Perahu berjalan memutari jembatan besar, lalu melawan arus sungai dingan mesin dieselnya. Tak lama, hanya sekitar lima menit kami sudah sampai. Cuma lima menit aja 80 ribu? aku bertanya pada diri sendiri. Yang paling mengesalkan ternyata kita masih berada di sisi daratan yang sama! @#$%!!! Tapi yasudahlah, dibawa asik aja--jargon acara backpaker di tv.

Air tejunnya besar. Bentangnya jauh lebh lebar dari curug Nangka ataupun Cilember. Di bawahnya arus sangat deras, tidak ada yang berani berenang disana, lagipula di curug ini hanya ada rombongan kami. Berada dekat air terjun rasanya seperti hujan gerimis. Cipratan air dan angin yang kencang, yang aku sendiri tidak tahu dari mana asalnya, membuat kami basah kuyup. Airnya berwarna coklat. Kata guide kami hal ini dikarenakan hujan yang turun tadi pagi. Kalau tidak hujan airnya akan bening. Kami berfoto di air terjun yang lebih kecil yang berada paling kanan curug. Walau ditutup batuan besar di samping kami, angin tetap kencang. Vicky Mbreg-Q dengan joroknya memainkan ludah, membuang ludah dan membiarkannya tertiup angin. Aku dan yang lainnya marah-marah karena mengenai kami. Setelah menghangatkan tubuh dengan pop-mie atau pun kopi kami menuju mobil, mandi pagi, dan segera meluncur ke tujuan selanjutnya, Bandung!

Jarak tempuh ke Bandung cukup jauh, mungkin sama dengan jarak ke Bogor. Pukul dua siang kami berhenti di sebuah masjid yang terletak di tengah perkebunan teh, lalu melanjutkan perjalanan kembali dengan menyusuri jalan yang jelek dan berliku. Yang menjadi co-driver kali ini adalah Mbreg-Q. ia bertanya kepada bapak di bengkel motor. Tampaknya semua temanku sedang memperhatikannya bertanya, hanya aku saja yang melihat seorang teteh cantik penjual pulsa di samping bengkel. Ketika ingin berjalan kembali barulah mereka melihat teteh tersebut.

Ketika di suatu pertigaan jalan ada cewek yang menurut teman-temanku sudah ISO, Vicky menggodanya.
"Hai!!" dengan nada yang aneh membuat kami semua ngakak.

Lalu Engkong juga, ketika melihat cewek langsung berteriak "Prikitiiiieew..." di dalam mobil sambil menempelkan muka dan tangannya seperti cicak. Firdan juga menggoda cewek tersebut.

Ketika sampai di kota Sukabumi kami melihat salon yang bernama Wance Salon, aku segera menepikan mobil dan Engkong memotretnya. Dan perjalanan dilanjutkan. Di dekat alun-alun tiba-tiba Payung berteriak "Cup, kuning cup, kuning!!!"
"Mana yung? Manaaa?" aku sedikit memperlambat mobil memperhatikan sekitar.
"MERAH Cup, Merah!!!"
"Mana sih?"
"Wah, parah lw, lampu merah diterobos, untung aja nggak dikejar polosi.."
"Oh, gw kirain lw ngasih tau cewek! hehehe"
"Dodol!!"

Jam delapan malam kami sampai di Bandung, dengkulku rasanya ingin copot karena memainkan kopling dari siang tadi. Aku buta dengan kota Bandung, maka Firdan yang paling mengenal kota Bandung duduk di depan. Kami memarkir di Mc D di simpang Dago (cuma parkir tentunya). Setelah berputar-putar akhirnya kami memilih makan di warung pisang bakar. Dian yang duduk di sebelahku bingung karena aku sedang mengucap mantra.
"0856917*****..."kataku
"Ngapain lw Cup?"
"Itu, di depan ada angkot yang isinya cewek-cewek berjilbab...hihihi"
"Mana?" Dian melihat-lihat ke depan. Kelihatannya mereka senyam-senyum. Aku jadi malu sendiri walaupun aku tidak tahu yang mereka tertawakan.

Sebelum ke simpang Dago tadi kami melewati Ciwalk, sekedar ingin tahu. Dan sekarang kami menuju ke bukit Bintang. Suasana malam minggu di Bandung sangat ramai. Ramai dengan dua orang yang menghabiskan Sat-night. Jalannya sulit, berupa tanjakan tajam yang menikung. Tapi sepertinya tempat yang ditunjukkan Payung salah, kita sampai di bukit yang dipenuhi puing-puing buangan.
"Ini mah bukan bukit Bintang, tapi bukit Puing!" kata temanku.

Setelah berfoto--karena sayang, sudah jauh-jauh datang-- kami pergi ke rumah saudaranya Firdan di daerah Ujung Berung untuk bermalam. Sampai di sana kami segera beristirahat karena lelah seharian beraktivitas.

Rabu, 19 Januari 2011

Berlibur: Ujung Genteng-Bandung

Aku beri judul seperti ini karena memang karena bukan dilakukan pada saat liburan, melainkan karena kita meluangkan waktu di semester ini yang tidak ada libur semesternya, di tengah jadwal PKL yang harus dipenuhi setiap mahasiswa. Bagi kami selalu ada waktu bagi untuk berlibur, asalkan dananya cukup.
*** 
Jumat, 14 Januari 2011

Jumat pagi kami sudah siap-siap berangkat. Dari subuh, Payung alias Agus sudah membangunkan anak-anak kontrakan agar segera menyiapkan segala keperluan untuk berlibur. Semalam aku sudah membawa mobil ke kontrakan, untuk liburan kali ini. Sebenarnya ide untuk jalan-jalan ke Ujung Genteng ini sedikit mendadak. Hari Senin, aku, Wawan, dan Firdan merencanakan untuk berlibur. Entah siapa yang memulai, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Ujung Genteng. Kebetulan kendaraan yang paling memungkinkan adalah mobil keluargaku. Maka, ketika aku pulang, aku segera menanyakan kepada orang tuaku apakah mobil keluarga boleh dipinjam atau tidak. Tak disangka, ternyata boleh! Segara aku sms Wawan untuk memberitahukan hal ini.


Semua barang-barang bawaan telah masuk mobil. Baju, celana, obat-obatan, bantal, sampai golok sudah masuk. Parafin yang dipersiapkan untuk bahan bakar memasak juga sudah dibawa. Sekitar jam enam waktu Depok kami pun berangkat. Total ada tujuh orang, termasuk aku yang ikut dalam rombongan ini. Tadinya kami berdelapan, tetapi ketika aku dan Wawan baru tiba di kontrakan, Richard terlihat kurang semangat. Benar saja, tak lama setelah ia pulang ia mengirim pesan ke Wawan bahwa ia tidak jadi ikut. Kami sempat kecewa, tapi biarlah. Jadilah kami berangkat bertujuh: aku, Wawan, Firdan, Payung, Ngkong alias Handri, Vicky, dan Dian.


Baru berjalan setengah jam Ngkong sudah mengeluarkan kamera SLR pinjamannya. Memotret talenta anak sekolah di jalan raya Bogor. Wah, harus lebih focus mengemudi nih, bisa-bisa nanti malah nabrak. Perjalanan Depok-Tajur cukup lancar, perjalanan kami baru tersendat ketika memasuki jalan kea rah Sukabumi. Disana kami berhenti di SPBU untuk mengisi bahan bakar dan istirahat sebentar. Perjalanan dilanjutkan kembali sampai kami berhenti di Cibadak untuk sarapan.


Dengan bermodalkan peta mudik milik Dian kami pun melanjutkan perjalanan. Kami sempat salah jalan dan terpaksa harus memutar setelah bertanya kepada seorang Bapak di warung pinggir jalan. Sebenarnya rute yang kami pilih bukan melewati Pelabuhan Ratu, karena jalannya memutar cukup jauh. Tapi sialnya rute yang kami lewati justru rute itu. Jalannya kecil, berliku-liku, dan rusak. Disisinya jurang yang cukup mengerikan. Ditambah dengan papan di pinggir jalan yang bertuliskan “hati-hati, rawan longsor!” membuat suasana semakin horror.


Pukul 11.30 kami menepi, mencari masjid untuk shalat Jumat. Masjidnya kecil, berada di tengah pemukiman setelah beberapa saat yang kami lalui hanya hutan. Tempat wudhunya berupa bak penampungan yang diberi kran yang sumber airnya terus mengalir. Terlihat kotor. Setelah Firdan buang air kecil, aku menitipkan sarungku kepadanya untuk buang air kecil. Di dalam aku melihat puntung rokok yang mengambang di  air berwarna kuning di dalam wc. "Ooh, cuma air kuning kental." pikirku dalam hati. "Apa!? Kuning?? Waaaa!" aku menahan napas dan buru-buru buang air kecil.


Selesai mengambil wudhu aku masuk masjid dan melakukan shalat takhiyatul masjid. Tak lama berselang adzan pun dikumandangkan. Di sini adzan Jumat dilakukan dua kali. Baru sekitar lima menit khatib membaca dengan bahasa Arab tiba-tiba ia duduk. Duduk di antara dua khutbah. Aku melihat Payung, sepertinya ia juga kaget. Lalu sang khatib membaca lagi, tiba-tiba dari belakang anak-anak kecil berteriak “AAAMMIIIEEEN!!!”. Aku tersentak mendengarnya. Kaget.


Perjalanan dilanjutkan. Pukul 12.15 WIB. Jalan masih tetap berliku dan rusak. Pemandangan sebenarnya cukup indah, tapi karena di sisinya jurang aku tidak bias menikmatinya. Entah sudah berapa kali album Sesuatu yang Tertunda dari Padi sudah berputar, persediaan dua sisir pisang yang dipaksa ibuku untuk dibawa juga tinggal sedikit, tetapi belum sampai juga. Anak-anak sudah ngobrol ngalor-ngidul dari tadi. Vicky mengaku kalau di rumah ia di panggil ganteng tiga, Payung dikatai mirip walrush, dan Firdan membuat istilah baru, perduaan. “Nanti kalau ada perduaan belok kanan.” katanya. Perduaan? Kami semua ngakak. Mingkin hanya orang Karawang yang mengerti.


Jam tanganku menunjukkan pukul dua ketika kami melewati Jampangkulon. Kami makan siang di daerah Surade. Namanya juga anak kostan, dimana pun berada makannya di warteg. Di dalamnya bau obat nyamuk bakar, yang belakangan, ketika makananku tinggal sedikit, ternyata obat nyamuk tersebut diletakkan di atas meja. Waduuh!? Sekitar satu jam kami meneruskan perjalanan akhirnya salmpailah kami di pintu masuk Ujung Genteng. Kami membayar Rp 16.000,00, Rp 4.000,00 untuk mobil, dan Rp 2.000,00 per orangnya. Tapi kami hanya dihitung enam orang, sepertinya satu orang temanku tidak terlihat petugas penjaga. Pintu gerbang sudah dilewati, di sebelah kiri, menerobos kebun kelapa terlihat laut. Kami kembali bersemangat. Terdengar Bob Marley bernyanyi di kepalaku, Three Little Bird

“don’t worry ‘bout a thing…cause everylittle thing gonna be alright…” 

Ternyata dari pintu gerbang itu pantainya masih cukup jauh. Hampir setengah jam. Jalannya pun jelek. Kami terus mengikuti jalan raya Ujung Genteng sampai akhirnya kami menemukan pertigaan di ujung pantai. Kami memilih arah ke kiri, jalan yang beraspal. Tapi setelah diikuti ternyata itu adalah jalan buntu yang berhenti pada tempat pelelangan ikan. Ujung aspal, begitu kami menyebutnya. Kami memutar, memilih jalan yang belum di aspal. Jalannya berupa conblock yang sudah banyak lubangnya. Itu pun hanya beberapa meter. Sisanya hanyalah jalan pasir yang banyak kubangannya.


Ketika sampai di pantai Cibuaya kami mencari penginapan di sana, yang murah meriah tentunya. Kami mendapatkan penginapan seharga 125 ribu permalamnya, dengan dua kamar. Tujuan sore ini adalah ke pantai Pangumbahan, tempat penangkaran penyu yang jauhnya kurang-lebih 3 km menyusuri pantai Cibuaya ini. Sambil menyusuri pantai kami berfoto-merekam video, mengabadikan momen-momen indah.

Pantai Pangumbahan memiliki pasir pantai yang halus dan putih, tidak seperti pantai Cibuaya yang pantainya berupa koral-koral kecil. Pantainya yang landai membuatku ingin merasakan berenang-renang sebentar. Dan teman-teman pun setuju untuk berenang. Kami pun tertawa lepas ketika tiduran sejajar dengan pantai lalu terhempas oleh ombak-ombak kecil yang sudah terlebih dahulu dipecah oleh karang besar di depan. Bukan hanya berenang, kami juga memberikan training kepada Engkong dengan menguburnya di dalam pasir--training untuk di kuburan maksudnya.

Kata Firdan tadi ada segerombolan orang yang sedang berkumpul di pantai, agak jauh dari kami ke arah timur, arah penangkaran penyu. Kami melanjutkan perjalanan kesana. Sayang, ternyata yang dilakukan oleh sekelompok tadi ialah melepaskan penyu. Kami terlambat beberapa menit. Tetapi setidaknya di sana kami bisa melihat tukuk--anak penyu-- yang baru menetas sekitar setengah jam yang lalu.

Malam hari, setelah makan malam dengan ikan laut aku langsung menuju kamar untuk tidur, karena pipiku sedang bengkan, sakit gigi karena makan martabak tanpa sikat gigi setelahnya. Tidurku tidak terlalu nyenyak, tengah malam aku terbangun untuk sikat gigi.

Sabtu, 13 November 2010

turbulence in my heart


Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti. Terus berputar, tak pernah berhenti. Maka bersyukurlah ketika kau sedang bahagia, agar Allah SWT menambahkan nikmat-Nya kepadamu. Dan jika kau sedang bersedih, bersabarlah. Tumpahkan segala keluh kesahmu di sepertiga malam akhir.

Menangislah karena bahagia, kawan. :)

Jumat, 12 November 2010

coretan di atas pasir

Tengoklah jejak langkah itu
Pasti dan tak kan terhenti
Langkah sederhana tuk taklukkan dunia
Turtle's Step!

Minggu, 17 Oktober 2010

Belajar

Suatu ketika temen gw mengirim pesan singkat, bertanya tentang mektek (mekanika teknik), pelajaran inti dari teknik sipil, khususnya gedung dan jembatan. 

"Besok ke kontrakan yuk, ngerjain mektek!" sms dari temanku. 
"Pengen istirahat dulu gw, capek" balasku. 
"Emang lw udah bisa ngerjainnya?" 

Saat itu gw bingung, harus jawab apa. Pengen banget ngejawab "BISA!!!", walaupun sebenarnya gw belum bisa. Tapi gw lebih memilih untuk diam dan mengalihkan pembicaraan. Gw ngerasa di kelas kita terlalu mengandalkan teman-teman yang lebih pintar. Dua orang. Hanya dua orang itu. Jika ada tugas kita hanya menunggu kedua orang itu mengerjakan, lalu kita hanya tinggal mengubah angka, yang memang soal dari tugas tersebut berbeda-beda, bisa menurut absen, jumlah nama, atau NIM. 

Hal ini berbeda sekali ketika semester satu, awal dimulainya perkuliahan. Gw selalu duduk di barisan paling depan. Gw inget waktu itu dosen ngasih soal di papan tulis. Dengan segera gw maju untuk menyelesaikan soalnya, walaupun saat itu gak begitu yakin dengan jawaban sendiri. Kecuali dalam hal bertanya, gw emang bukan orang yang kritis yang suka bertanya jika ada hal yang gak dimengerti. Kalau kata Boss Tante gw yang orang Jepang itu kebiasaan orang kita. Mengerti diam, gak mengerti juga diam. Sudahlah, kesampingkan sajalah dulu opini orang Jepang yang satu ini. Toh hasil yang gw dapet di semester satu ini cukup bagus. "Semangat permulaan". 

Di semester kedua gak tahu kenapa prestasi gw sedikit menurun. Bahkan sampai sekarang. Mungkin karena sudah jarang jamaah di masjid atau memang pelajarannya yang makin susah, gak tahu. Gw juga gak tahu pelajaran apa yang paling gw kuasai. Biarlah mengalir sampai gw menemukan post gw sendiri. 

Walaupun kami terlalu bergantung hanya kepada dua orang itu, atau kadang tiga orang, gw ingin mencoba untuk menyelesaikannya terlebih dahulu. Sendiri. Di rumah. Di kamar sendiri. Kerena gw emang bukan tipe orang yang bisa belajar bersama-sama, berdiskusi. Gw lebih senang sendiri. Kalau sudah mentok baru gw nanya. Itu pun cuma ke satu atau dua orang saja. 

Proses belajar bukan hanya kita bisa menjadi mengerti dan bisa mengerjakan sesuatu, tetapi mengetahui hal yang belum kita mengerti juga merupakan proses belajar. 

Teruslah mencari ilmu. Semoga Allah meninggikanmu beberapa derajat karena ilmumu. Amin.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Tony Tony Chopper

Kapan manusia mati?
Apakah ketika jantung tertembus peluru? Tidak.
Apakah ketika menderita wabah penyakit yang tidak bisa di sembuhkan? Tidak.
Atau ketika kita memakan jamur beracun? Tidak. Tidak!
Manusia mati ketika ia dilupakan oleh orang lain.
(Dr. Hiluluk)

Salah satu cerita yang paling menyentuh dalam serial One Piece menurutku adalah cerita perekrutan Tony Tony Chopper, seekor rusa kutub yang menjadi anggota ke-6 dalam Bajak Laut Topi Jerami. Ia memegang peranan sebagai dokter dalam kelompok tersebut.

 

Chopper dilahirkan sebagai rusa kutub aneh berhidung biru. Hal ini membuat ia diasingkan dalam kelompoknya. Suatu hari secara tidak sengaja ia memakan buah iblis hito hito, sehingga ia dapat berpikir dan berbicara seperti manusia. 

Memakan buah iblis membuatnya semakin terasing di kelompoknya, dan pada akhirnya ia di buang oleh keluarganya. Lalu Chopper ditolong oleh Dokter Hiluluk, seorang dokter gadungan yang ingin menyembuhkan negerinya yang sedang sakit. Tetapi Raja Wapol sangat membenci Hiluluk, dan kemudian Wapol membuat siasat untuk membunuh Hiluluk. Hiluluk diminta datang ke istananya untuk mengobati dokter 20, dokter kerajaan yang diberitakan sedang sakit. 

Ketika sampai di depan istana ternyata ia disambut dengan senapan oleh para pengawal Raja Wapol. Tetapi Wapol tidak berhasil membunuhnya karena Hiluluk meminum ramuan jamur, yang dipercaya oleh Chopper adalah obat segala jenis penyakit, yang sebenarnya itu adalah jamur beracun. Walaupun Hiluluk mengetahui itu adalah jamur beracun, ia tetap meminumnya karena ia sangat menghargai kerja keras chopper untuk mendapatkan jamur tersebut. 

Setelah kematian  Hiluluk, Chopper belajar ilmu kedokteran kepada Dokter Kureha. Dan ia pun akhirnya ikut kelompok Bajak Laut Topi Jerami setelah menguasai seluruh ilmu yang dikuasai Kureha. 
*** 
Mungkin pesan yang ingin Oda sensei sampaikan pada cerita ini adalah semangat pengabdian dari seorang dokter, ketulusan dari dalam hati untuk dapat menyembuhkan seseorang yang terkena penyakit walaupun sebenarnya ia tidak menguasai ilmu kedokteran. Membaca kisah Chopper dan Hiluluk pasti sedikit-banyak membuat anda ingin menjadi dokter bukan? Hal ini juga terjadi padaku...hehehe 

Minggu, 26 September 2010

Sebuah Doa dari Kakekku

Ir. Sutami 

Kakek dari ibuku, atau biasa aku panggil mbah kakung adalah anak tunggal di keluarganya. Aku tidak begitu tahu kehidupan masa kecilnya di Solo, yang aku tahu sekarang ia sudah mempunyai 7 orang anak dan 9 orang cucu (sebentar lagi bertambah satu, insyaAllah). 

Semua anaknya mempunyai nama yang hanya terdiri dari satu kata, misalnya Maryati, Sumarli, atau Suryadi. Hanya anak pertamanya, yaitu ibuku yang mempunyai nama yang terdiri dari dua kata, Eny Sutami.

Aku baru tahu ketika mbah cerita pada saat lebaran kemarin. Nama Sutami itu di ambil dari nama seorang insinyur dan menteri Pekerjaan Umum yang harum namanya. Dia adalah insinyur yang membangun jembatan semanggi. Kalau tidak salah hari kelahiran ibuku sama dengan hari kematian beliau. Sepertinya mbah kakung sangat mengagumi beliau.

Sekarang ibuku mempunyai tiga orang anak. Memang, ibuku yang hanya luluan SMA tidak menjadi insinyur, tetapi kedua anak kembarnya sekarang sedang kuliah di jurusan teknik sipil, dan insyaAllah akan menjadi insinyur. Amin.

Designer skyline in my head
Abstract and still well-read
You went from numbered lines to buildings overhead
(owl city-designer skyline)



Kamis, 16 September 2010

bismillahirrahmanirrahiim

Diawali dengan bismillah,
diakhiri dengan alhamdulillah
begitulah sehari dalam hidup kita
mudah-mudahan di rahmati Allah